RSS Subscribe

Welcome To My Blog

Kamis, 07 April 2011

Konflik Israel-Palestina

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Konflik Israel-Palestina, bagian dari konflik Arab-Israel yang lebih luas, adalah konflik yang berlanjut antara bangsa Israel dan bangsa Palestina.
Konflik Israel-Palestina ini bukanlah sebuah konflik dua sisi yang sederhana, seolah-olah seluruh bangsa Israel (atau bahkan seluruh orang Yahudi yang berkebangsaan Israel) memiliki satu pandangan yang sama, sementara seluruh bangsa Palestina memiliki pandangan yang sebaliknya. Di kedua komunitas terdapat orang-orang dan kelompok-kelompok yang menganjurkan penyingkiran teritorial total dari komunitas yang lainnya, sebagian menganjurkan solusi dua negara, dan sebagian lagi menganjurkan solusi dua bangsa dengan satu negara sekular yang mencakup wilayah Israel masa kini, Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur.
Kawasan Timur Tengah merupakan sebuah kawasan geopolitik yang menjadi wilayah konflik yang berkepanjangan. Wilayahnya yang mengandung sumber daya mineral dalam jumlah yang banyak, telah menjadikan kawasan ini sebagai hotbed atau ajang unjuk kekuatan negara-negara besar yang memiliki kepentingan akan energi. Tidak hanya itu, kawasan Timur Tengah merupakan kawasan berasalnya tiga agama Samawi, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam yang sekaligus menjadikan kawasan tersebut sebagai kawasan suci bagi ketiga agama. Fakta ini pula yang melatarbelakangi terjadinya Perang Salib dalam kurun waktu ratusan tahun. Dalam era modern, berbagai krisis terjadi di wilayah ini, seperti perang Iran-Irak, Irak-Kuwait, invasi Amerika Serikat ke Irak, dan konflik Palestina-Israel yang telah lebih dari lima dekade masih berlangsung hingga saat ini.
Konflik Palestina-Israel adalah konflik yang paling lama berlangsung di wilayah Timur Tengah (dengan mengenyampingkan Perang Salib), yang menyebabkannya menjadi perhatian utama masyarakat internasional. Sebagai contoh, konflik antara keduanya menjadi agenda pertama dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), ketika PBB baru terbentuk dan sampai saat ini belum terselesaikan meski ratusan resolusi telah dikeluarkan. Kedua entitas politik ini telah “bertarung” di kawasan Timur Tengah semenjak berdirinya negara Israel pada tahun 1948. Dalam beberapa waktu belakangan, telah terjadi serangkaian peristiwa penting yang menandai proses perdamaian antara kedua entitas ini. Jimmy Carter, mantan Presiden Amerika Serikat (AS), sedang melakukan safari ke wilayah Palestina, dan melakukan dialog dengan pemimpin-pemimpin Palestina.
Perkembangan terakhir yang didapat dari perjalanan Jimmy Carter tersebut, Hamas bersedia untuk mengakui eksistensi Israel di wilayah Timur Tengah, yang menandai perubahan platform politik yang cukup fundamental dari Hamas mengingat mereka merupakan partai politik Palestina yang paling keras mengecam hadirnya Israel di wilayah Timur Tengah. Meski kemudian kabar ini dibantah oleh pemimpin Hamas, Khaled Meshaal yang mengatakan bahwa Hamas tetap dalam posisi untuk memperjuangkan negara Palestina dengan batas pada tahun 1967, yang menjadikan Yerusalem sebagai ibukota Palestina, tanpa mengakui eksistensi Israel. Belum hilang dari ingatan, ketika pemerintahan George W. Bush berusaha menengahi konflik Timur Tengah dengan mengadakan Konferensi Annapolis, yang mengeluarkan rekomendasi mengenai perdamaian antara Palestina dan Israel. Konferensi ini tidak hanya dihadiri oleh perwakilan dari Palestina dan Israel, namun juga dari negara-negara lain seperti Lebanon, Suriah, Mesir, Yordania, dan negara-negara lain di Kawasan Timur Tengah. Pada tahun 2005, Ariel Sharon (Kadima) sebagai Perdana Menteri Israel pada saat itu, mengeluarkan kebijakan unilateral disengagement plan yang disetujui oleh Knesset (parlemen Israel). Dengan adanya kebijakan tersebut, seluruh pemukiman Israel yang berada di wilayah Jalur Gaza, dan beberapa di Tepi Barat (West Bank) ditarik dan dihancurkan. Kebijakan ini memang tidak langsung membuahkan perdamaian permanen antara Palestina dan Israel, tetapi setidaknya usaha untuk mewujudkan hal tersebut sudah semakin dekat.
Tetapi, konflik antara Palestina – Israel tidak bisa hanya dilihat dari kejadian 5 atau 10 tahun belakangan. Perseteruan antara kedua entitas ini telah berlangsung selama enam dekade (jika dihitung dari terbentuknya negara Israel), dan dimulainya konflik antara Palestina – Israel telah melalui latar belakang sejarah yang cukup panjang.
Periode Pra-1920 : Zionisme, Kekalahan Ottoman, dan Janji-Janji Pemenang Perang
Meskipun telah memiliki catatan sejarah dalam dokumentasi seperti Alkitab dan Alquran, Negara Israel belum terbentuk sampai pada tahun 1948. Semenjak kehancuran Kerajaan Israel dan penjajahan oleh Romawi, Israel mengalami diaspora, dan tidak pernah memiliki pemerintahan sendiri yang berdaulat. Diaspora telah menghasilkan penyebaran umat Yahudi di seluruh dunia, khususnya di Eropa. Mereka berasimilasi dengan masyarakat di sekitarnya, namun tetap mempraktikkan ajaran-ajaran Yahudi. Pada awalnya, tidak ada gerakan nasionalisme Yahudi yang mempunyai tujuan untuk kembali ke tanah Israel, karena pada umumnya warga Yahudi diterima di wilayah dimana mereka berasimilasi. Tetapi, setelah munculnya pogrom di Rusia, paham anti-semit di kawasan Eropa Timur dan Tengah, dan juga kematian Alfred Dreyfus (Kapten Tentara Prancis beragama Yahudi) karena tuduhan menjadi mata-mata musuh, gerakan nasionalisme Yahudi muncul di kalangan Yahudi Eropa. Gerakan ini lazim disebut dengan Zionisme, yang ditemukan dan dipopulerkan oleh seorang jurnalis Yahudi berkebangsaan Austria bernama Theodore Herzl, melalui buku berjudul Der Judenstaat. Herzl menganggap, dengan adanya diskriminasi berkepanjangan terhadap warga Yahudi di hampir seluruh wilayah Eropa, maka asimilasi bukan lagi menjadi pilihan bagi Yahudi apabila mereka ingin tetap hidup. Zionisme telah berhasil membangkitkan nasionalisme Yahudi yang berada di Eropa, sehingga mewujudkan terjadinya Aliyah dalam beberapa gelombang.
Ketika gerakan Zionisme mulai marak di kawasan Eropa, wilayah Palestina/Israel yang kita kenal pada saat ini masih berada dibawah kekuasaan Imperium Ottoman. Pada saat itu, Imperium Ottoman masih mengontrol sebagian besar wilayah di kawasan Asia Barat, mulai dari Asia Minor/Turki sampai ke seluruh semenanjung Arab. Selama kurang lebih 400 tahun, Ottoman bertahan di wilayah Timur Tengah yang kita kenal pada saat ini. Eksistensi Imperium Ottoman di kawasan Timur Tengah berakhir ketika kekalahan mereka pada Perang Dunia I. Kekalahan Ottoman bukan saja disebabkan oleh Inggris dan Prancis, namun juga oleh bangsa Arab yang berada di wilayah Ottoman. Bangsa Arab memberontak kepada Imperium Ottoman atas bantuan Inggris, yang telah menjanjikan untuk membantuk terbentuknya sebuah pemerintahan Arab yang independen apabila bangsa Arab mau melawan Ottoman. Janji dari Inggris ini tertuang dalam korespondensi antara Sir Henry MacMahon (Pejabat Tinggi Inggris di Kairo) dengan Sharif Hussein (pemimpin Arab Hashemite), yang dikenal dengan sebutan Hussein-MacMahon Correspondence.
Namun janji Inggris terhadap Arab untuk membantuk pembentukan pemerintahan Arab tidak segera diwujudkan. Inggris dan Prancis justru membuat perjanjian bilateral yang membagi bekas wilayah Imperium Ottoman untuk negara-negara Eropa, yang dikenal dengan Sykes-Picot Agreement. Dengan adanya kesepakatan tersebut, bangsa Arab tidak mendapatkan wilayah bekas Imperium Ottoman, yang secara otomatis membuat mereka tidak mungkin untuk bisa membentuk pemerintahan Arab yang independen. Dalam perjanjian tersebut, Inggris mendapatkan Yordania, Irak, dan sebagian wilayah Haifa, sementara Prancis mendapatkan Turki, Irak bagian utara, Suriah, dan Lebanon. Sedangkan negara-negara lain dibebaskan untuk memilih wilayah yang akan dikuasainya. Ketika dibuatnya Sykes-Picot Agreement, wilayah Palestina belum diserahkan kepada negara manapun, sehingga dijadikan sebagai sebuah wilayah internasional yang dikelola secara bersama-sama diantara negara-negara pemenang perang.
Pada waktu yang hampir bersamaan dengan dengan pembuatan Sykes-Picot Agreement, Inggris kembali mengumbar janji kepada bangsa Yahudi dengan mendukung pendirian negara Yahudi di tanah Palestina. Dokumen ini dikenal dengan nama Balfour Declaration, yang menjadi landasan bagi gerakan Zionisme untuk mewujudkan visi terbentuknya negara Yahudi yang eksklusif dengan kembali ke tanah Palestina. Lahirnya janji-janji dari Inggris kepada Yahudi dan Arab telah melatarbelakangi konflik antara Arab dan Yahudi, yang merasa berhak dan didukung oleh Inggris.
Sykes-Picot Agreement yang dibuat antara Inggris dan Prancis ternyata tidak menyelesaikan permasalahan yang ada di kawasan Timur Tengah, karena sengketa yang terus terjadi antara negara-negara yang menguasai bekas wilayah Ottoman. Akhirnya Dewan Sekutu memutuskan untuk membuat konferensi yang diadakan di San Remo, Italia, untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Konferensi San Remo menghasilkan keputusan yang memberikan wilayah Palestina dan Irak kepada Inggris, sedangkan Prancis mendapatkan Suriah dan Lebanon. Keputusan ini mengikutsertakan Balfour Declaration sebagai salah satu landasan dibuatnya alokasi wilayah tersebut, disamping Pasal 22 dari Kovenan Liga Bangsa-Bangsa. Liga Bangsa-Bangsa menggunakan hasil dari Konferensi San Remo untuk membuat British Mandate of Palestine pada tahun 1920, yang menjadikan wilayah Palestina sebagai wilayah mandat yang akan dikelola oleh Inggris hingga penduduk di wilayah tersebut dapat memerintah secara otonom.
Periode 1920-1948 : Mandat Inggris hingga terbentuknya Negara Israel
Tugas yang diberikan LBB kepada Inggris untuk mengelola wilayah Palestina sampai mereka bisa memerintah secara otonom, ternyata menimbulkan banyak friksi di antara warga di wilayah Palestina, khususnya antara Arab dan Yahudi. Kedua bangsa tersebut telah dijanjikan oleh Inggris untuk bisa membentuk pemerintahan berdaulat yang berdiri sendiri, sehingga menimbulkan banyaknya gesekan terutama klaim mengenai siapa yang paling berhak untuk berada di wilayah Palestina. Dalam kurun waktu hampir 30 tahun selama pemerintahan Mandat Inggris, telah terjadi beberapa bentrokan diantara bangsa Arab dan Yahudi yang berada di wilayah Palestina, antara lain Palestine Riots 1920, Palestine Riots 1929, Arab Revolt 1936-1939,  Jerusalem Riots 1947. Dalam kurun waktu ini pula, terjadi Perang Dunia II di wilayah Eropa yang telah melahirkan tragedi holocaust, sehingga semakin menguatkan niat bangsa Yahudi di Eropa untuk kembali ke tanah Palestina. Keberadaan Inggris di wilayah Palestina untuk membantu warga di Palestina menjadi otonom, justru menimbulkan resistensi dari Arab, sehingga keberadaannya tidak berfungsi maksimal dan jauh dari tujuan awal yang diharapkan ketika LBB menugaskan Inggris.
Lahirnya PBB sebagai penerus tugas dari LBB, tidak banyak membantu penyelesaian konflik yang terjadi di wilayah Palestina. PBB, khususnya Majelis Umum, berinisiatif untuk mebuat sebuah proposal perdamaian untuk Arab dan Yahudi di Palestina, yaitu dengan membuat partisi atau pembagian wilayah Palestina, sehingga terbentuk negara Arab dan Yahudi secara terpisah. Dalam proposal ini, Jerusalem tidak ditempatkan dibawah penguasaan Arab ataupun Yahudi, tetapi dijadikan sebagai sebuah wilayah internasional yang diurus secara internasional oleh PBB. Proposal menjadi Resolusi 181 Majelis Umum PBB, atau lebih dikenal dengan UN Partition Plan, memberikan 55% wilayah Palestina untuk dijadikan negara Yahudi, dan 45% sisanya untuk negara Arab. Secara demografis, komunitas Yahudi hanya ada sekitar 7% dari seluruh penduduk Palestina, dan 93% sisanya merupakan Arab. Dengan adanya ketidakseimbangan antara jumlah penduduk dan wilayah yang diberikan oleh PBB, protes dari bangsa Arab pun bermunculan.
Adanya penolakan dari bangsa Arab yang merasa diperlakukan tidak adil melalui UN Partition Plan telah memicu kerusuhan selanjutnya di Yerusalem antara Arab dengan Yahudi (khususnya melalui pasukan paramiliter Haganah). Penolakan dari bangsa Arab telah menggagalkan proposal perdamaian ini, selain itu statusnya yang merupakan resolusi Majelis Umum PBB menjadikannya tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (non-legally binding).
Gagalnya Mandat Inggris dan UN Partition Plan di Palestina, tidak menghambat bangsa Yahudi untuk mewujudkan visi dari Zionisme. Pada hari yang bersamaan dengan berakhirnya Mandat Inggris, David Ben-Gurion yang mewakili Yahudi, memproklamirkan berdirinya Negara Israel, dan hanya dalam hitungan jam, Uni Sovyet dan Amerika Serikat memberikan pengakuaan terhadap negara yang baru lahir tersebut.[15] Proklamasi kemerdekaan Israel ini menyulut kemarahan bangsa Arab, dan menimbulkan konflik bersenjata pertama antara bangsa Arab dengan Yahudi (yang kali ini telah menjadi Israel).

Periode 1948 : Konflik Tak Berujung, dan Perjanjian-perjanjian Damai yang Impoten
Kelahiran Israel pada 14 Mei 1948 telah menginisiasi konflik berkepanjangan antara Arab dengan Israel. Konflik bersenjata pertama antara Arab dengan Israel terjadi beberapa hari sesudah diproklamasikannya kemerdekaan Israel. Pada saat itu, Israel belum memiliki angkatan bersenjata yang resmi, dan hanya mengandalkan organisasi paramiliter seperti Haganah, Irgun, Palmach yang berjuang tanpa komando. Sementara bangsa Arab di Palestina juga mengandalkan organisasi paramiliter Futuwa dan Najjada. Namun setelah itu, bangsa Arab didukung oleh negara-negara Arab disekitar Israel seperti Irak, Yordania dan Mesir untuk mendukung perlawanan Arab terhadap Israel. Di tengah-tengah peperangan, organisasi paramiliter Israel dilebur menjadi sebuah angkatan bersenjata yang disebut dengan Israeli Defense Forces, sehingga mereka memiliki kekuatan militer yang lebih terkomando dan rapi. Peperangan 1948 atau yang dikenal dengan nama Al Nakba dimenangkan oleh Israel, setelah selama lebih dari satu tahun bertempur. Berakhirnya perang Al Nakba ini ditandai dengan dibuatnya perjanjian perdamaian antara Israel dengan negara-negara Arab disekitarnya pada bulan Juli 1949. Dan pada tahun itu pula, eksistensi Israel sebagai negara ditegaskan dengan diterimanya Israel sebagai anggota PBB. Perang 1948 telah memunculkan persoalan pengungsi Palestina yang terusir dari kediamannya di Palestina. Sekitar 750.000 warga Palestina terpaksa menjadi pengungsi dan mencari perlindungan di negara-negara Arab.
Konflik bersenjata Arab dan Israel tidak berhenti di tahun 1949. Selama 17 tahun, ketegangan antara negara-negara Arab dan Israel masih terus terjadi, khususnya dari Presiden Mesir pada saat itu, yaitu Gamal Abdul Nasser. Dirinya seringkali mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang berisikan tentang keinginannya untuk menghancurkan Israel. Pada tahun 1967, terjadi konflik berikutnya antara Arab dan Israel. Israel yang telah mengerahkan kekuatan intelijennya ke seluruh wilayah negara-negara Arab, telah berhasil menghimpun informasi berkaitan dengan rencana negara-negara Arab untuk menyerang Israel. Tepatnya pada tanggal 5 Juni 1957, Israel melancarkan serangan pertamanya ke Mesir, yang dikhususkan ke pangkalan udara militer yang menjadi basis kekuatan Mesir dan selama 5 (lima) hari kemudian, Israel terus melancarkan serangan-serangannya ke negara-negara Arab yang berbatasan langsung dengan Israel seperti Yordania, Suriah, dan Lebanon. Perang yang dikenal juga dengan Six-Days War ini kembali dimenangkan oleh Israel, dan tidak hanya itu, Israel berhasil merebut wilayah Gaza dan Semenanjung Sinai dari Mesir, Jerusalem Timur dan Tepi Barat dari Yordania, dan Dataran Tinggi Golan (Golan Heights) dari Suriah. Secara faktual, aliansi kekuatan militer negara-negara Arab jauh lebih besar dibandingkan dengan Israel. Namun Israel berhasil memenangkan peperangan dan berhasil mengubah peta geopolitik di kawasan Timur Tengah. Perang 1967 lagi-lagi menghasilkan problem pengungsi. Sekitar 250.000 penduduk Palestina menjadi bagian dari gelombang kedua pengungsi Palestina, dan bergabung bersama penduduk Palestina lain yang telah berada di pengungsian.
Kekalahan negara-negara Arab dalam Six-Days War tidak membuat konflik antara Arab dengan Israel berakhir. Pada tahun 1973, tepat sebelum peringatan hari Yom Kippur oleh Yahudi, kembali terjadi konflik bersenjata antara Arab dengan Israel. Yom Kippur War menjadi puncak konflik bersenjata antara Arab dan Israel. Dalam perang ini, Bangsa Arab berhasil membalas kekalahannya dari Israel. Serbuan negara-negara Arab berhasil melumpuhkan Israel, meski Israel tidak dikalahkan secara telak. Perang ini berhasil memaksa Israel untuk mengembalikan Semenanjung Sinai dan Gaza kepada Mesir melalui sebuah perjanjian perdamaian pada tahun 1979. Sampai pada titik ini, belum ada entitas Palestina yang menjadi representasi perlawanan bangsa Arab yang berada di Palestina. Palestine Liberation Organization (PLO) memang telah dibentuk pada tahun 1964 oleh Liga Arab, tetapi statusnya sebagai representasi masyarakat Palestina baru ditegaskan pada tahun 1974.
Kehadiran PLO sebagai representasi resmi bagi rakyat Palestina telah membuat perjuangan Palestina semakin terkontrol, dan memudahkan Palestina untuk ikut serta dalam konferensi-konferensi internasional, karena status PLO sebagai gerakan pembebasan nasional yang diakui sebagai salah satu subyek hukum internasional. Meski telah memiliki organisasi yang resmi, masyarakat Palestina di tataran akar rumput tetap melancarkan perjuangannya secara otonom. Salah satu buktinya, rakyat Palestina melakukan perlawanan terhadap Israel atau yang dikenal dengan “Intifada”. Perlawanan ini dilatarbelakangi oleh kekecewaan rakyat Palestina terhadap bangsa Arab yang tidak lagi berjuang bersama-sama mereka, lalu PLO yang belum bisa menunjukkan posisinya sebagai representasi dari rakyat Palestina, dan juga tindakan represif dari Israel melalui pembunuhan-pembunuhan terhadap tokoh Palestina, penghancuran properti milik warga Palestina, dan juga pemindahan penduduk secara paksa (deportasi). Salah satu ciri khas Intifada di Palestina adalah pelemparan batu yang dilakukan oleh rakyat Palestina terhadap angkatan bersenjata Israel. Lahirnya Intifada pertama di Palestina, dan juga kematian Abu Jihad, telah menginspirasi beberapa pemimpin Palestina untuk memproklamasikan berdirinya negara Palestina pada tahun 1988. Semenjak tahun 1988, istilah “Palestina” untuk menggambarkan sebuah negara mulai dikenal. Meski pada tahun-tahun selanjutnya, PLO tetap menjadi representasi Palestina untuk berjuang di forum internasional, karena status Palestina sebagai negara belum diakui secara internasional.
Setelah terbentuknya PLO dan dideklarasikannya negara Palestina, sejumlah konferensi perdamaian antara Palestina dan Israel mulai marak dilakukan oleh negara-negara besar, seperti AS dan Russia. Konferensi perdamaian paling awal adalah Madrid Conference yang dilaksanakan pada tahun 1991, yang kemudian dilanjutkan dengan Oslo Accords pada tahun 1993. Oslo Accords menjadi salah satu tahapan penting dalam kronik perdamaian Palestina-Israel, karena memuat rencana-rencana perdamaian dan pembentukan negara Palestina. Bahkan dengan adanya Oslo Accords, Intifada yang telah berlangsung selama 5 tahun dapat dihentikan. Namun seiring terbunuhnya Yitzhak Rabin yang berperan penting dalam Oslo Accords, kesepatakan tersebut kembali mentah dan tidak dapat diimplementasikan. Setelah Oslo Accords, masih ada Hebron Agreement dan juga Wye River Memorandum yang tidak menghasilkan apapun bagi proses perdamaian Palestina dan Israel.
Pada tahun 2000, AS kembali berusaha untuk membuka jalan bagi kemungkinan perdamaian antara Palestina dan Israel. Pertemuan antara Bill Clinton, Ehud Barak, dan Yasser Arafat di Camp David, AS, kembali tidak menghasilkan kesepakatan apapun. Pada tahun ini pula, Intifada jilid ke-2 kembali muncul di masyarakat Palestina. Pasca Camp David Summit, masih ada upaya perdamaian melalui Beirut Summit yang diprakarsai oleh Arab Peace Initiative, dan juga proposal Peta Jalan atau Road Map for Peace yang diusulkan oleh Quartet on Middle East yang terdiri dari AS, Rusia, PBB, dan Uni Eropa (UE). Dan sama seperti upaya-upaya perdamaian sebelumnya, kedua pertemuan itu tidak berhasil mendamaikan Palestina dan Israel.
Pada tahun 2007, di masa-masa akhir pemerintahan George W. Bush, Quartet on Middle East ditambah dengan partisipasi dari Mesir, mengadakan konferensi untuk kembali membicarakan perdamaian antara Palestina dan Israel di Annapolis. Untuk pertama kalinya dalam kronik sejarah proses perdamaian Palestina dan Israel, solusi dua negara disebutkan secara eksplisit dalam proses konferensi. Dengan diterimanya solusi dua negara dalam Annapolis Conference, maka telah terjadi perubahan dalam platform politik yang telah lama dianut oleh Palestina dan Israel. Meski demikian, hasil dari Annapolis Conference masih belum bisa diimplementasikan karena semakin rumitnya konflik yang terjadi di wilayah Palestina-Israel.

Situasi saat

Sejak Persetujuan Oslo, Pemerintah Israel dan Otoritas Nasional Palestina secara resmi telah bertekad untuk akhirnya tiba pada solusi dua negara. Masalah-masalah utama yang tidak terpecahkan di antara kedua pemerintah ini adalah:
·         Status dan masa depan Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur yang mencakup wilayah-wilayah dari Negara Palestina yang diusulkan.
·         Keamanan Israel.
·         Keamanan Palestina.
·         Hakikat masa depan negara Palestina.
·         Nasib para pengungsi Palestina.
·         Kebijakan-kebijakan pemukiman pemerintah Israel, dan nasib para penduduk pemukiman itu.
·         Kedaulatan terhadap tempat-tempat suci di Yerusalem, termasuk Bukit Bait Suci dan kompleks Tembok (Ratapan) Barat.
Masalah pengungsi muncul sebagai akibat dari perang Arab-Israel 1948. Masalah Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur muncul sebagai akibat dari Perang Enam Hari pada 1967.
Selama ini telah terjadi konflik yang penuh kekerasan, dengan berbagai tingkat intensitasnya dan konflik gagasan, tujuan, dan prinsip-prinsip yang berada di balik semuanya. Pada kedua belah pihak, pada berbagai kesempatan, telah muncul kelompok-kelompok yang berbeda pendapat dalam berbagai tingkatannya tentang penganjuran atau penggunaan taktik-taktik kekerasan, anti kekerasan yang aktif, dll. Ada pula orang-orang yang bersimpati dengan tujuan-tujuan dari pihak yang satu atau yang lainnya, walaupun itu tidak berarti mereka merangkul taktik-taktik yang telah digunakan demi tujuan-tujuan itu. Lebih jauh, ada pula orang-orang yang merangkul sekurang-kurangnya sebagian dari tujuan-tujuan dari kedua belah pihak. Dan menyebutkan "kedua belah" pihak itu sendiri adalah suatu penyederhanaan: Al-Fatah dan Hamas saling berbeda pendapat tentang tujuan-tujuan bagi bangsa Palestina. Hal yang sama dapat digunakan tentang berbagai partai politik Israel, meskipun misalnya pembicaraannya dibatasi pada partai-partai Yahudi Israel.
Mengingat pembatasan-pembatasan di atas, setiap gambaran ringkas mengenai sifat konflik ini pasti akan sangat sepihak. Itu berarti, mereka yang menganjurkan perlawanan Palestina dengan kekerasan biasanya membenarkannya sebagai perlawanan yang sah terhadap pendudukan militer oleh bangsa Israel yang tidak sah atas Palestina, yang didukung oleh bantuan militer dan diplomatik oleh A.S. Banyak yang cenderung memandang perlawanan bersenjata Palestina di lingkungan Tepi Barat dan Jalur Gaza sebagai hak yang diberikan oleh persetujuan Jenewa dan Piagam PBB. Sebagian memperluas pandangan ini untuk membenarkan serangan-serangan, yang seringkali dilakukan terhadap warga sipil, di wilayah Israel itu sendiri.
Demikian pula, mereka yang bersimpati dengan aksi militer Israel dan langkah-langkah Israel lainnya dalam menghadapi bangsa Palestina cenderung memandang tindakan-tindakan ini sebagai pembelaan diri yang sah oleh bangsa Israsel dalam melawan kampanye terorisme yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Palestina seperti Hamas, Jihad Islami, Al Fatah dan lain-lainnya, dan didukung oleh negara-negara lain di wilayah itu dan oleh kebanyakan bangsa Palestina, sekurang-kurangnya oleh warga Palestina yang bukan merupakan warga negara Israel. Banyak yang cenderung percaya bahwa Israel perlu menguasai sebagian atau seluruh wilayah ini demi keamanannya sendiri. Pandangan-pandangan yang sangat berbeda mengenai keabsahan dari tindakan-tindakan dari masing-masing pihak di dalam konflik ini telah menjadi penghalang utama bagi pemecahannya.
Sebuah poster gerakan perdamaian: Bendera Israel dan bendera Palestina dan kata-kata Salaam dalam bahasa Arab dan Shalom dalam bahasa Ibrani. Gambar-gambar serupa telah digunakan oleh sejumlah kelompok yang menganjurkan solusi dua negara dalam konflik ini.
Sebuah usul perdamaian saat ini adalah Peta menuju perdamaian yang diajukan oleh Empat Serangkai Uni Eropa, Rusia, PBB dan Amerika Serikat pada 17 September 2002. Israel juga telah menerima peta itu namun dengan 14 "reservasi". Pada saat ini Israel sedang menerapkan sebuah rencana pemisahan diri yang kontroversial yang diajukan oleh Perdana Menteri Ariel Sharon. Menurut rencana yang diajukan kepada AS, Israel menyatakan bahwa ia akan menyingkirkan seluruh "kehadiran sipil dan militer... yang permanen" di Jalur Gaza (yaitu 21 pemukiman Yahudi di sana, dan 4 pemumikan di Tepi Barat), namun akan "mengawasi dan mengawal kantong-kantong eksternal di darat, akan mempertahankan kontrol eksklusif di wilayah udara Gaza, dan akan terus melakukan kegiatan militer di wilayah laut dari Jalur Gaza." Pemerintah Israel berpendapat bahwa "akibatnya, tidak akan ada dasar untuk mengklaim bahwa Jalur Gaza adalah wilayah pendudukan," sementara yang lainnya berpendapat bahwa, apabila pemisahan diri itu terjadi, akibat satu-satunya ialah bahwa Israel "akan diizinkan untuk menyelesaikan tembok [artinya, Penghalang Tepi Barat Israel] dan mempertahankan situasi di Tepi Barat seperti adanya sekarang ini".
Dengan rencana pemisahan diri sepihak, pemerintah Israel menyatakan bahwa rencananya adalah mengizinkan bangsa Palestina untuk membangun sebuah tanah air dengan campur tangan Israel yang minimal, sementara menarik Israel dari situasi yang diyakininya terlalu mahal dan secara strategis tidak layak dipertahankan dalam jangka panjang. Banyak orang Israel, termasuk sejumlah besar anggota partai Likud -- hingga beberapa minggu sebelum 2005 berakhir merupakan partai Sharon -- kuatir bahwa kurangnya kehadiran militer di Jalur Gaza akan mengakibatkan meningkatnya kegiatan penembakan roket ke kota-kota Israel di sekitar Gaza. Secara khusus muncul keprihatinan terhadap kelompok-kelompok militan Palestina seperti Hamas, Jihad Islami atau Front Rakyat Pembebasan Palestina akan muncul dari kevakuman kekuasaan apabila Israel memisahkan diri dari Gaza.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Masalah yang ingin diselesaikan dalam pembuatan makalah ini adalah:
·         Upaya penyelesaiaan masalah yang bisa digunakan dalam menyelesaikan maslah antara Palestina dengan Uni Islam Turki ?
1.3 TUJUAN PENULISAN
   Tujuan yang ingin dicapai dengan terselesaikannya  penulisan makalah ini adalah disamping untuk melaksanakan  penugasan pembuatan makalah yang materinya menyangkut masalah PEMECAHAN MASALAH PALESTINA: UNI ISLAM TURKI dari Dosen, makalah ini juga bertujuan sebagai sarana untuk belajar dalam menuangkan pemikiran kami  tentang Mata Kuliah Pengantar Ilmu Politik. Penulisan makalah ini berdasarkan pada materi yang kami dapatkan dari berbagai sumber dan ditunjang dengan beberapa referensi – referensi yang relevan dengan permasalahan ini. Selain itu,Dengan penulisan makalah ini, kami mengharapkan agar makalah ini dapat dijadikan sebagai referensi dan tambahan wawasan / pengetahuan bagi pembaca mengenai hal-hal yang berkenaan dengan “PEMECAHAN MASALAH PALESTINA: UNI ISLAM TURKI”.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 SATU-SATUNYA PEMECAHAN MASALAH PALESTINA: UNI ISLAM TURKI

Satu-satunya pemecahan masalah Palestina: Uni Islam Turki Segenap bangsa kita sepatutnya menyeru terbentuknya Uni Islam Turki. Dalam Uni Islam Turki, tak seorang Muslim, Nasrani atau Yahudi pun akan menderita kepedihan apa pun. Orang tidak akan dibunuh, terlukai, jatuh miskin, tertindas atau merasa takut.
Tidak ada masalah yang terbengkalai di pengadilan atau lembaga hukum. Tidak ada kasus pembunuhan yang tersisa. Tidak ada kemelaratan yang tak teratasi. Tidak akan ada produktivitas yang terhenti. Tidak akan ada lagi kebodohan.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. (QS. Ash Shaaff, 61:4)
Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri. (QS. Asy Syuuraa, 42:39)
·         Setiap hari tanpa upaya apa pun dalam menegakkan Uni Islam Turki adalah sebuah kerusakan dan kerugian.
·         Uni Islam Turki harus didirikan tanpa penundaan.
·         Segenap bangsa Turki mendukung dan menyetujui uni (perserikatan) yang luar biasa ini.
·         Seluruh negara rumpun Turki dan negeri-negeri Islam menganggap uni (perserikatan) ini sangatlah perlu. Mereka bersuka cita dan bersungguh-sungguh mendukungnya.
·         Uni ini akan bekerja untuk kemaslahatan dan kesejahteraan material dan spiritual bangsa Amerika, Rusia, Cina, Eropa dan seluruh dunia serta akan membawa perdamaian, persaudaraan, cinta dan kesejahteraan dunia.
Uni Islam Turki adalah satu-satunya pemecahan yang dapat segera menghentikan teror, kekacauan, ketidakamanan di dunia serta krisis global.
Uni Islam Turki adalah sebuah perserikatan cinta. Ia adalah perserikatan kasih sayang, perserikatan hati-hati. Landasan uni (perserikatan) ini adalah rasa cinta, sikap mengutamakan orang lain, menolong sesama, kasih sayang, tenggang rasa dan saling memahami. Perserikatan ini bertujuan pula meraih cita-cita tertinggi dalam hal penghargaan terhadap kemanusiaan dan dalam bidang seni budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi. Sekali perserikatan ini tercipta, maka bukan bangsa rumpun Turki dan Muslim saja, akan tetapi seluruh dunia, akan mendapatkan pencerahan.
Perkembangan-perkembangan terkini menunjukkan bahwa landasan berdirinya Uni Islam Turki, yang dinanti-nantikan dengan gelora dan semangat yang tinggi oleh bangsa Turki-Islam, sangatlah dekat. Tahap pertama dan terpenting menuju perserikatan itu adalah Azerbaijan dan Turki bersatu sebagai dua negara, tapi satu bangsa tunggal. Dalam waktu dekat, Turki, sebagai sebuah negara super, akan mengambil tampuk kepemimpinan dunia Islam dan bangsa-bangsa rumpun Turki dan menyatukan seluruh kaum Muslim dalam suatu wilayah yang teramat luas dari Kaukasus hingga Tanzania dan dari Maroko hingga Fiji, dalam satu atap.
Persatuan akan melimpahkan kekuatan dahsyat kepada dunia Islam-Turki. Apa yang sesungguhnya menjadikan perserikatan kaum mukmin ini sedemikian kuat pada hakikatnya adalah keimanan dan ketaatan mereka. Hanya keimanan sungguh-sungguh yang dapat melahirkan persahabatan dan ikatan sejati. Kaum Muslim mencintai satu sama lain dengan hati suci dan demi meraih ridha Allah, tanpa terselip sedikit pun kepentingan pribadi. Sebuah uni (perserikatan) yang didirikan di atas landasan terkuat yang dikenal umat manusia—yakni takut dan cinta kepada Allah—tidak akan pernah hancur, kecuali jika Allah berkehendak lain.
2.1.A Uni Islam Turki akan membawa perdamaian dunia.
Uni Islam Turki pertama-tama dan terutama akan menyelesaikan perselisihan di antara negeri-negeri Muslim dan membawa perdamaian di dunia Islam; perserikatan itu juga akan menentang segala pergerakan yang menghasut timbulnya perang dan pertikaian di dunia seluruhnya, dan akan menjadi kekuatan yang mampu mencegah semua upaya yang ditujukan untuk mendorong terjadinya perang.
Dengan pendirian Uni Islam Turki, Amerika, Eropa, Cina, Rusia, Israel dan singkatnya seluruh dunia akan dapat bernapas lebih lega. Teror akan berhenti, penyaluran bahan-bahan mentah akan terjamin, tatanan ekonomi dan sosial akan terlindungi dan benturan peradaban akan sirna seluruhnya. Amerika tak akan perlu lagi mengirimkan pasukannya ke wilayah-wilayah yang jauhnya ribuan kilometer, Israel tidak akan perlu lagi hidup di belakang tembok, negara-negara Uni Eropa tidak akan lagi mengalami hambatan ekonomi, Rusia tidak akan lagi memiliki kekhawatiran masalah keamanan dan Cina tidak akan mendapatkan kesulitan menemukan bahan-bahan mentah.
Merupakan sebuah berkah besar dan kenyamanan bagi Uni Eropa jika terbebaskan dari kekhawatiran tentang teror. Uni Islam Turki adalah jalan keluar pasti yang dapat mewujudkan hal ini. Dengan Uni Islam Turki, seluruh persoalan dan kekacauan di dunia Islam dapat dituntaskan. Ini berarti, negara-negara rumpun Turki dapat bergerak untuk mendirikan sebuah peradaban yang sama atau bahkan lebih besar daripada Eropa. Ini dikarenakan negara-negara rumpun Turki merupakan wilayah yang secara potensial sangatlah kaya. Uni Islam Turki akan membawa kekayaan, keberlimpahan, perdamaian dan kesejahteraan besar di wilayah itu. 
2.1.B Uni Islam Turki Adalah Satu-Satunya Pemecahan Yang Mampu Menghentikan Krisis Ekonomi Dunia
Uni Islam Turki akan menghidupkan kembali perdagangan dan memperkuat ekonomi. Persatuan di antara negeri-negeri Muslim di bidang ekonomi, politik dan budaya akan memungkinkan negeri yang kurang maju melakukan kemajuan pesat dan menjadikan negeri-negeri yang telah memiliki sarana dan prasarana yang dibutuhkan mampu menggunakannya sebaik mungkin. Pertumbuhan ekonomi dan penanaman modal di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi akan meingkat. Dengan pembangunan ekonomi akan terjadi peningkatan alamiah dalam hal tingkat pendidikan, dan masyarakat akan menciptakan kemajuan di sejumlah bidang.
Uni Islam Turki akan menyebabkan pembaruan di seantero dunia Muslim. Dengan adanya pasar bersama Islam yang bakal didirikan, produk-produk dari satu negara akan mudah dipasarkan di negara lainnya, tanpa terjebak dalam permasalahan batasan jumlah maupun perbatasan negara. Zona-zona perdagangan akan berkembang, seluruh negeri Muslim akan menikmati peningkatan penguasaan pasar, eksport akan berkembang, sehingga mengarah ke percepatan industrialisasi di negeri-negeri Muslim, dan pembangunan ekonomi akan mendorong ke arah kemajuan teknologi.
Dengan pendirian Uni Islam Turki, sumber-sumber energi akan terjamin. Di bawah Uni Islam Turki, perdamaian dan kekokohan akan menyelimuti di wilayah-wilayah dengan cadangan sumber daya alam perut bumi yang kaya, dan sistem demokratis akan berjalan dengan tatanan sangat baik di sana. Sebuah pola-acuan akan muncul yang dengannya sumber-sumber daya alam ini dimanfaatkan dengan cara terbaik, serta negeri-negeri Islam maupun masyarakat lain tidak akan dirugikan. Ini pada akhirnya akan memungkinkan adanya kebijakan-kebijakan politis yang kokoh dan seimbang dalam masalah-masalah yang secara khusus penting guna menjaga kekokohan ekonomi dunia, khususnya produksi dan harga minyak.
Sebuah dunia Turki-Islam dengan ekonomi sangat tangguh akan menjadi pemicu utama kemakmuran dunia Barat dan masyrakat-masyarakat lainnya. Masyarakat-masyarakat ini akan menemukan sebuah kekuatan yang dapat mereka jadikan mitra kerjasama dan dapat mereka libatkan dalam perdagangan saling menguntungkan tanpa rasa was-was. Selain itu, dana yang terus menerus dikucurkan lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi Barat ke wilayah tersebut untuk pembangunan kembali tidak akan lagi diperlukan. Sebaliknya, dana-dana ini akan dimanfaatkan untuk memperkuat ekonomi dunia.
Dalam semangat ini, bangsa Turki memikul tanggung jawab besar. Kewajiban Turki adalah memimpin dunia Turki-Islam ini yang akan membawa perdamaian, kesejahteraan dan keberlimpahan bagi seluruh dunia. Kepemimpinan dunia Turki-Islam adalah salah satu tugas terbesar dalam sejarah dunia. Ini adalah salah satukewajiban teramat penting bangsa Turki. Dengan kata lain, kewajiban kita sebagai bangsa Turki tidaklah sebatas menyelamatkan Turki, tapi juga menyelamatkan seluruh dunia Turki dan dunia Islam dan membawa perdamaian dan kemakmuran bagi seluruh umat manusia.


PENUTUP
Kenyataan yang telah kita bahas di sini mengungkapkan bahwa tujuan dasar Israel adalah mengepung orang-orang Palestina dengan segala cara yang mungkin dan membuat hidup mereka menjadi berat sehingga mereka akan menghentikan perjuangan mendapat tanahnya dan pergi ke tempat lain. Para pemimpin Israel seperti Ben Gurion, Begin, Shamir, Netanyahu, Barak, dan Sharon semuanya telah mengikuti ideologi yang sama: Zionisme yang membabi buta dan menyerang. Hambatan terbesar untuk mewujudkan impian Zionis adalah orang-orang Palestina.
Gerakan untuk mewujudkan impian ini telah mengakibatkan pembantaian bangsa besar-besaran yang masih terjadi di Palestina selama setengah abad dan telah membawa rakyatnya ke dalam kehancuran. Mereka kehilangan segalanya: rumah, kebun, dan tanah mereka. Dan sebuah negara baru, yang ideologinya didasarkan atas teror dan kekacauan, dibangun di tanah mereka dulu. Di tempat rumah dan tanah pertanian Palestina pernah berada, di sana sekarang pabrik-pabrik, gedung, hotel, dan pusat perbelanjaan Israel didirikan. Namun negara Israel tidak berhenti di sini, seperti yang diperlihatkan sejarah, mereka masih menolak meninggalkan orang-orang Palestina dalam damai di atas tanah yang telah mereka tinggalkan.
Orang-orang Palestina, karena tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar dan pokok mereka, terus menghadapi perlakuan menyiksa dan tak berprikemanusiaan. Diembargo secara ekonomi, mereka tak punya harapan untuk berdiri di atas kakinya sendiri. Di wilayah tempat perikanan merupakan sumber utama pendapatan, menangkap ikan justru dilarang; di wilayah tempat ekspor buah adalah sumber utama tenaga kerja, ekspor malah dibatasi. Akibatnya, orang-orang Palestina tidak punya pilihan selain bekerja sebagai separuh budak untuk upah sekecil-kecilnya dari pabrik-pabrik Israel.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Komentar Disini